Jumat, 14 September 2018

Latte Effect? Why Not?

Gaya hidup sejatinya merupakan sebuah kebutuhan sekunder manusia yang dapat berubah kapan saja sesuai dengan apa yang sedang terjadi atau mengikuti trend yang sedang berkembang pada saat itu. Kotler yang merupakan ahli maanjemen pemasaran mengungkapkan bahwa gaya hidup atau lifestyle menggambarkan mengenai keseluruhan diri seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu gaya hidup seseorang dapat dikenali dengan bagaimana seseorang menghabiskan waktunya, dapat melalui minatnya terhadap sesuatu atau bahkan pada aktifitas tertentu.

Hal inilah yang kemudian benar-benar dimanfaatkan oleh pasar. Mereka seakan tahu dan mengerti mengenai kebiasaan yang tengah menjadi trend pada saat ini. Melepas penat dengan diselingi obrolan ringan seusai jam bekerja selesai disebuah coffee cafe menjadi pilihan yang sedang diminati saat ini. Kebiasaan untuk duduk dan menikmati waktu luang di cafe kopi dengan ditemani secangkir kopi terus berkembang dengan diiringi pula bertambahnya jumlah kafe kopi dimanapun termasuk di Yogyakarta.

Di Amerika, kebiasaan ini disebut dengan Latte Effect. Sebuah istilah tentang keborosan kelompok kelas menengah Amerika yang menghabiskan uangnya rata-rata sebesar US$ 3 setiap hari hanya untuk membeli secangkir kopi daripada menyisakan uang tersebut untuk ditabung (Indonesian Finance Today, 2016). Latte effect berbeda dengan kebutuhan konsumsi anda sehari-hari (makan pagi, siang, atau malam). Bagaimana dengan di Indonesia? Rata-rata menu kopi di Indonesia juga sekitar Rp 30 ribu keatas. Itu baru satu cup kopi saja, belum termasuk makanan ringan yang ada di kafe kopi tersebut. Mungkin jika dirata-rata satu kali berkunjung ke kafe kopi akan kita akan mengeluarkan uang minimal sebesar Rp 50 ribu. Lantas berapa banyak anda menghabiskan waktu anda di kafe kopi tersebut setiap harinya? Sekilas mungkin angka tersebut tidak terlalu besar, namun bagaimana jika angka tersebut dikalikan dengan akumulasi jumlah kunjungan anda di kafe tersebut selama satu bulan? Atau bahkan satu tahun?

Baiklah mari kita hitung (angka minimal rata-rata Rp 50 ribu, dan jumlah kunjungan kita setiap hari), maka:

Rp 50 ribu x 6 hari      = Rp 300 ribu / minggu
Rp 300 ribu x 4 minggu = Rp 1,2 juta / bulan
Rp1,2 juta x 12 bulan = Rp 14,4 juta / tahun

Dari perhitungan angka tersebut dapat dilihat berapa banyak uang yang seharusnya bisa kita tabung atau mungkin bisa digunakan untuk keperluan lain. Latte effect mengajarkan kita mengenai bahaya kebiasaan berbelanja secara tidak sadar. Makan dan minum memanglah merupakan kebutuhan utama kita untuk dapat bertahan hidup. Terutama bagi kita yang bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selama ini memiliki UMR relatif lebih rendah dibanding kota besar lainnya. Di DIY, Kota Yogyakarta masih paling tertinggi dengan angka sebesar Rp 1,572,200.- setelah itu diikuti dengan Sleman dan Bantul di angka Rp 1,4 juta serta Kulonprogo dan Gunungkidul dengan angka Rp 1,3 juta. Jika kita hanya mengandalkan UMR sebagai sumber pendapatan kita sehari-hari, maka latte effect ini tidak akan dapat menolong kita untuk memenuhi segala kebutuhan kita yang lain.  

Cara kontrol yang tepat tentunya berasal dari dalam diri kita sendiri. Sesekali mungkin tidak terlalu bermasalah, selama kita dapat mengkontrol semua pengeluaran kita dengan baik. Otoritas Jasa Keuangan juga menilai bahwa tingkat konsumtif masyarakat Indonesia semakin lama semakin meningkat. Begitupun dengan data Badan Pusat Statistik, yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia semakin meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan tingkat konsumtif masyarakat sejatinya harus dipengaruhi pula pada meningkatnya pendapatan rumah tangga setiap bulannya. Jika memang memiliki dana khusus dan tidak memiliki tanggungan apapun, tentu hal seperti ini tidak terlalu bermasalah namun bagaimana jika ternyata kebutuhan untuk gaya hidup ternyata lebih besar dibandingkan pendapatan setiap bulannya.

Semua permasalahan ini sebenarnya kembali ke masing-masing individu. Lagipula apa gunanya kita memiliki banyak penghasilan atau uang namun jika kita tidak menikmatinya? Sehingga yang terpenting adalah bagaimana anda dapat menyelaraskan pengeluaran anda dengan penghasilan anda setiap bulannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Jangan sampai anda tidak memiliki tabungan setiap bulannya meskipun anda tetap akan memperoleh gaji secara rutin. Hal pertama yang harus anda lakukan adalah menyisihkan terlebih dahulu biaya untuk pemenuhan kebutuhan rutinitas anda. Misalnya bayarlah terlebih dahulu tagihan kredit. Kemudian pisahkan sisa pendapatan anda dengan biaya hidup sehari-hari, misalnya untuk biaya makan dan minum. Setelah semuanya terpenuhi, barulah kita dapat menggunakan sisa uang kita untuk memuaskan keinginan kita, salah satunya mungkin dengan menikmati suasana kafe kopi favorit anda dengan diselingi secangkir coffelatte yang hangat. Dengan cara ini, anda dapat menghindari latte effect yang sewaktu-waktu bisa menjadi boomerang bagi kantong keuangan anda. 

ADA APA DENGAN THR? (Sebuah Filosofi Sistem Manajemen Kinerja)

Hi, lama banget laman blog ini sepi hahahaha. Oke, kali ini saya coba ramaikan lagi ya. Sama seperti yang sedang ramai dibicarakan diluar sa...